Pernahkah kamu merasa sebel
dengan namamu?
Saya pernah. Waktu itu saya masih duduk di bangku sekolah
dasar. Badan saya terhitung besar. Ginak ginuk kaya bengkoang
bulet gede yang dijual di pasar. Intinya sih badan saya lebih
gede, besar dan tinggi daripada kawan seumuran
saya. Baik yang cowo maupun cewe.
Udah gak bisa lari cepet karena keberatan
lemak, ngisi kolom nama di kertas ujian juga lumayan lama
daaaannn kolomnya ga muat. Karena kalau dihitung, saya memerlukan
30 kolom huruf. Tapi saya jago senam lantai lho walaupun gendut. Asal
gak cari masalah aja sama saya, pasti gak akan saya pukul. Kelebihannya anak gendut, kalau dinakalin temennya bisa bales
mukul, yang dipukul pasti kesakitan. Padahal tenaga yang dikeluarin
gak seberapa.
Sudah tentu saya dipanggil dengan julukan gembrot,
gendut dan sebagainya. Belum lagi nama saya ada “Shinta”nya. Kalian ingat,
jaman 99an ada serial televisi yang judulnya “Wiro Sableng”.
Serialnya diputer di RCTI jam 12 siang. Pendekar berbaju
putih yang selalu memakai ikat kepala, dengan senjata
kapak nagageni 212. Wiro Sableng ini punya guru. Gurunya bernama Sinto Gendeng. Yak betul. Nama saya dipelintir
jadi “Sinto Gendeng”. Resek!
Satu lagi. Kalau ini bertahan sampai sekarang. Menurut
saya, beberapa nama itu berjenis kelamin. Salah
satunya nama saya. Galih itu berjenis kelamin laki-laki. Jadi
sampai sekarang, saya akrab dengan sapaan Mas, Bang, Bung, Kang
dan Bapak.
Nama saya kan panjang ya. Adalah empat kosakata. Kata ibunya
temen saya, badan saya yang gendut ini karena keberatan
nama.
Pulang sekolah, ngadulah saya sama ibu. Ibu saya cuma bisa ketawa. Dibilangnya ya iyalah saya gendut,
kalau malem sebelum tidurnya makan terus. Bukan karena
saya keberatan nama juga.
Gituuu terus. Selama esde, saya selalu
dipanggil dengan julukan kaya gitu. Bete iya. Zebeeeelll.
Dan kalau udah dikatain, saya pasti ngelawan balik sama yang ngatain. Peduli
sama badannya gede atau kecil, senior atau junior,
langsung lawan balik. Tapi tetep dikatain -___-
Paling engga yang ngatain saya itu pukul sampai nangis.
Lah dibales malah nangis. Gitu tuh kalau nakal tapi gak mau terima
konsekuensinya. Beraninya ngadu sama bu guru. Nakal tapi
ga siap, jadinya baper.
Udah udah
Sampai akhirnya saya sadar kalau nama pemberian
orangtua saya itu bagus banget. At
least saya ga dipanggil runtah. Jadi saya main ke rumah temen
suatu siang sepulang sekolah. Di deket rumah kawan
saya itu ada nenek-nenek tua. Nenek-nenek
ya tualah. Nenek itu bernama RUNTAH. Kalau di bahasa indonesiakan
artinya sampah.
Saya gak habis pikir, di dunia ini ada orang bernama
runtah. Literally runtah.
*
Cerita soal anak yang malu sama namanya sendiri,
juga dialami oleh Om Bud. Budiman Hakim, pengarang buku Lanturan Tapi Relevan, ini pernah punya kasus yang sama dengan
saya.
Rupanya Om Bud pernah malu dengan namanya, karena
kurang k barat-baratan. Hihihi
Katanya nama Budiman Hakim gak asyik. Pasaran. Dari Budiman
dijadiin Paiman atau Maman. Ada juga yang manggil Bu Diman. Bahkan Mang Diman.
Sampai akhirnya ada peristiwa kecil yang mengangkat
proses pendewasaannya. Seorang kawannya ngomong
kalau namanya itu perpaduan yang bagus. Katanya sebuah nama itu harus dilihat secara
lengkap. Kalau dipilah-pilah emang gak asik. Contoh, nama Ratna
Sari Dwi. Kesan yang didapat adalah seorang perempuan
berkepribadian kuat, anggun, feminim sekaligus berwibawa.
*
Saya Galih Prabashinta Putri Pramudita.
Saya menyukai nama saya.
Maturnuwun bapak ibu.